Senin, 13 Mei 2013

SE Mendagri No. 472.11/2304/SJ tanggal 6 Mei 2013


Menteri Dalam Negeri melalui Surat Edaran No. 472.11/2304/SJ tanggal 6 Mei 2013 tentang Tindaklanjut Pelaksanaan Putusan MK tersebut di atas. Surat Edaran tersebut memerintahkan Kepala Dispendukcapil untuk segera menyesuaikan Persyaratan dan Tata Cara Pelayanan Pencatatan Kelahiran dan Penerbitan Kutipan Akta Kelahiran dengan Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun 2008 dan isi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XI/2013 terhitung sejak tanggal 1 Mei 2013

Pasal 32 (UUD No. 23 Tahun 2006)
  1. Pelaporan kelahiran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) yang melampaui batas waktu 60 (enam puluh) hari sampai dengan 1 (satu) tahun sejak tanggal kelahiran, pencatatan dilaksanakan setelah mendapatkan persetujuan Kepala Instansi Pelaksana setempat.
  2. Pencatatan kelahiran yang melampaui batas waktu 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan berdasarkan penetapan pengadilan negeri.
  3. Ketentuan lebih lanjut mengenai Persyaratan dan Tata Cara Pencatatan Kelahiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Presiden.

Maka, selengkapnya pasal 32 di atas kira-kira menjadi seperti di bawah ini:
  1. Pelaporan kelahiran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) yang melampaui batas waktu 60 (enam puluh) hari sampai dengan 1 (satu) tahun sejak tanggal kelahiran, pencatatan dilaksanakan setelah mendapatkan persetujuan keputusan Kepala Instansi Pelaksana setempat.
  2. Pencatatan kelahiran yang melampaui batas waktu 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan berdasarkan penetapan pengadilan negeri.
  3. Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pencatatan kelahiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Presiden.


maka Mahkamah Konstitusi, sebagaimana dalam Putusan Sidang Mahkamah Konstitusi perkara 18/PUU-XI/2013 tentang Permohonan Pengujian Konstitusionalitas Pasal 32 UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, menyatakan bahwa:
  1. kata "persetujuan" pada ayat (1) dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan dalam proses pencatatan dan penerbitan akta kelahiran karena persetujuan bersifat internal di Instansi Pelaksana, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Oleh karena itu, untuk menentukan kepastian hukum yang adil, dicatat atau tidak dicatatnya kelahiran yang terlambat perlu keputusan dari Kepala Instansi Pelaksana yang didasarkan pada penilaian mengenai kebenaran tentang data yang diajukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, sehingga frasa “persetujuan” dalam ayat (1) harus dimaknai sebagai “keputusan” Kepala Instansi Pelaksana.
  2. keterlambatan melaporkan kelahiran yang lebih dari satu tahun yang harus dengan penetapan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) akan memberatkan masyarakat. Keberatan tersebut bukan saja bagi mereka yang tinggal jauh di daerah pelosok tetapi juga bagi mereka yang tinggal di daerah perkotaan. Lagi pula, sebagaimana telah dipertimbangkan di atas, proses di pengadilan bukanlah proses yang mudah bagi masyarakat awam sehingga dapat mengakibatkan terhambatnya hak-hak konstitusional warga negara terhadap kepastian hukum. Proses untuk memperoleh akta kelahiran yang membutuhkan prosedur administrasi dan waktu yang panjang serta biaya yang lebih banyak dapat merugikan penduduk, padahal akta kelahiran tersebut merupakan dokumen penting yang diperlukan dalam berbagai keperluan. Oleh karena itu, selain bertentangan dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, dan Pasal 28D ayat (4) UUD 1945 yang berbunyi “setiap orang berhak atas status kewarganegaraan”, ayat (2) juga bertentangan dengan prinsip keadilan, karena keadilan yang tertunda sama dengan keadilan yang terabaikan (justice delayed, justice denied).
  3. frasa “sampai dengan 1 (satu) tahun” dalam ayat (1) menjadi tidak relevan lagi setelah ayat (2) dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Oleh karena itu, frasa tersebut juga dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
  4. karena ayat (2) dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan karena itu tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat maka frasa “dan ayat (2)” dalam ayat (3) tidak mempunyai relevansi lagi, sehingga harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan karena itu tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Link Download SE Mendagri No. 472.11/2304/SJ : disini